Selasa, 05 April 2011

SISTEM KEPARTAIAN

Fajri Sanusi
151090192

SISTEM KEPARTAIAN

Resume, review, dan komentar

Sumber : Dasar-dasar ilmu politik (Miriam Budiadjo)
Perbandingan sistem politik (Mohtar Mas’oed)

RESUME

Definisi partai politik menurut miriam ialah kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Dan bertujuan memperoleh kekuasaan politik untuk melaksanakan programnya.

Sistem kepartaian ialah suatu bentuk dari interaksi partai.Sistem kepartaian di buku miriam umumnya di bagi mejadi 3. Yakni partai-tunggal, sistem dwi-partai, dan sistem multi partai.

Sistem partai tunggal.

Beberapa pengamat beranggapan bahwa istilah ini kurang relevan, sebab suatu sistem selalu mengandung lebih dari suatu bagian. Jadi, dianggap tidak relevan. Meski begitu, sistem ini telah luas dikenal dan di aplikasikan di banyak negara. Seperti di beberapa negara di afrika, di cina, kuba, dan uni soviet. Di sistem ini, suasananya non-kompetitif, sebab semua golongan harus menerima pimpinan partai tersebut dan tidak di benarkan untuk bersaing dengannya dan dianggap pengkhianatan. Ada kecenderungan sistem ini di anut oleh negara yang baru terlepas dari kolonialisme, sebab pemimpin yang baru naik ingin mengintegrasikan berbagai golongan agar dapat tercapainya pembangunan yang future-oriented.

Contoh yang dianggap paling berhasil ialah Partai Komunis Uni Soviet. Saat pemerintahannya, partai ini benar-benar dalam keadaan non-kompetitif. Sebab partai oposisi akan dianggap sebagai pengkhianatan. Partai tunggal serta organisasi yang bernaung di bawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan penggerak masyarakat dan menekankan perpaduan antara kepentingan partai dengan kepentingan masyarakat secara menyeluruh.

Sistem Dwi-Partai

Dalam kepustakaan ilmu politik, sistem ini bisa diartikan adanya dua partai yang selalu dominan dalam penggapaian hak suara. Dewasa ini hanya beberapa negara yang bersifat dwi-partai. Yakni Inggris, AS, Filipina, Kanada, dan Selandia Baru. Dalam sistem ini pihak yang kalah akan menjadi pengecam utama jika terdapat kesalahan (setidaknya menurut mereka) dalam kebijakan partai yang menduduki kepemerintahan, dengan pengertian sewaktu-waktu peran ini dapat tertukar. Ada tiga syarat agar sistem ini dapat berjalan baik. Yakni masyarakat bersifat homogen, masyarakat memiliki konsensus yang kuat mengenai asas dan tujuan sosial politik, dan adanya kontinuitas sejarah.

Inggris dapat dikatakan yang paling ideal. Partai buruh dan partai konservatif bisa dikatakan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal asas dan tujuan politik, sehingga perubahan kepemimpinan tidak terlalu mengganggu kontinuitas kebijakan pemerintah. Hanya saja partai buruh lebih condong membuat pemerintah melakukan pengendalian dan pengawasan di bidang ekonomi. Sedang patai konservatif lebih memilih kebebasan berusaha.

Selain partai ini ada partai-partai kecil lain. Pengaruhnya memang terbatas, namun pada saat perbedaan suara antara dua partai dominan tipis. Posisi mereka menjadi krusial, hingga partai dominan biasanya akan mengadakan koalisi dengan partai-partai ini.

Sistem ini umumnya dianggap lebih kondusif, sebab terlihat jelas perbedaan partai oposisi dan pemerintah. Akan tetapi hal ini juga memungkinkan tingginya ketajaman perbedaan kedua belah pihak, karna tidak memiliki pihak ketiga sebagai penengah. Sistem ini juga biasanya memberlakukan sistem distrik, dimana setiap daerah pemilihan hanya ada satu wakil saja.

Sistem multi-partai

Umumnya sistem ini dianggap cara paling efektif dalam merepresentasikan keinginan rakyat yang beranekaragam ras, agama, atau suku. Dan lebih cocok dengan plurartas budaya dan politik di banding dwi partai. Sistem ini di gunakan di Indonesia, Malaysia, Belanda, Australia, Prancis, dan Sweadia. Sistem ini dalam kepemerintahan parlementer cenderung menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif, hingga badan eksekutif sering berperan lemah dan ragu-ragu. Sebab tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk menduduki kepemerintahan sendiri hingga memakasa untuk berkoalisi. Sehingga pengambilan keputusan menjadi lebih rumit karna harus bermusyawarah dengan partai-partai koalisi. Sebab bukan tidak mungkin partai koalisi ditarik hingga berkurangnya mayoritas dalam parlemen.

Dilain pihak, peran partai oposisi menjadi kurang jelas. Karna sewaktu-waktu setiap partai dapat diajak bergabung dalam koalisi. Sehingga mengakibatkan ketidak stabilan dalam strategi yang tergantung pada kegentingan masing-masing partai. Dan seringkali partai oposisi kurang dapat menyusun program alternatif bagi pemerintah. Walaupun tidak selalu, karna di Belanda, Norwegia, dan Swedia dapat menjadi contoh yang dapat mempertahankan stabilitas dan kontinuitas dalam kebijakan publiknya.

REVIEW

Sistem kepartaian yang dijelaskan dalam buku miriam secara jelas mengklasifikasikan sistem kepartaian satu partai, dua partai, dan multi partai. Namun tidak membagi secara jelas bagian-bagian yang ada di dalamnya seperti yang ada dalam buku Mohtar Mas’oed.

Dalam buku Mohtar, semuanya di bagi dengan sedikit lebih kompleks. Yakni pembagian dari masing-masing sistem.

Menurut Mohtar, sistem satu partai bisa di bagi dalam 3 kelompok besar. Yakni : (1) patai komunis yang menindas oposisi dan merasuki masyarakat untuk merubah masyarakat sehingga menjadi sepaham dengannya, contohnya partai komunis uni soviet (2) partai konservatif atau “fasis” yang menindas gerakan liberal dan radikal tetapi mengijinkan kepentingan dunia usaha, gereja, pemilik tanah yang konservatif untuk ikut berpengaruh. Seperti NAZI jerman dan Fasis itali sebelum PD II (3) kelompok partai bangsa baru yang berusaha meng-integrasikan bangsa. Seperti Uni Nasional afrika Tanzania. Sistem satu partai menggunakan sentralisasi, konsentrasi kekuatan, dan kemampuan penetrasi sbagai ukuran kasar dari kemampuannya merubah ekonomi, masyarakat dan kebudayaannya sesuai dengan tujuan para elit yang berkuasa.

Selain itu juga ada istilah “satu partai dominan” yang dimana ada banyak partai namun satu partai selalu memenangkan mayoritas suara. Sehingga walaupun ada pemuli kompetitif diadakan , sebagian besar suara akan jatuh ke partai tadi. Sebagai contoh di Indonesia pada Rezim Suharto. Meskipun ada 3 partai yang mengikuti pemilu, namun Golkar selalu memenangakn pemilu hingga Soeharto terus naik sebagai presiden selama 32 tahun.

Dalam hal banyak partai, dibagi menjadi 2 partai dan banyak partai(lebih dari 2) berdasarkan ukuran antagonisme dan polarisasi. Ditemukan sistem dua partai berdasarkan konsensus, dengan contoh Inggris. Meskipun partai konservatif dan buruh saling bertentangan, mereka masih memiliki banyak sikap sama sehingga pertentangan dan pergantian pemerintahan tidak mempengaruhi stabilitas proses pemerinthan.ada juga sistem 2 partai berdasarkan konflik yang benar-benar terpisah secara antagonistik.

Dan begitu juga pada sistem banyak partai. Ada yang berdasarkan konsensus, dimana ada lebih dari 2 partai yang berlandasan kuat dan mampu membentuk pemerintahan yang stabil. Ada pula yang berdasarkan konflik dimana ada banyak partai yang sangat saling berlwanan.

Penjenisan ketiga lebih rumit dan di sebut campuran. Dimana partai-partai saling terpisah jauh dan saling tidak percaya. Namun karna pengalaman dari elit-elit partai, jadi sadar akan perlunya kompromi dengan memberikan kepercayaan yang terbatas pada partai lain.

KOMENTAR

Sistem kepartaian sangat mempengaruhi stabilitas dan keadilan bagi suatu negara. Seperti sistem satu partai tunggal yang mengakibatkan jalannya pemerintahan berada dalam genggaman sekelompok kecil orang(elit-elit partai), lebih memungkinkan terjadinya kestabilan pemerintahan namun juga sangat memungkinkan terjadi ketidak adilan jika elit politik memiliki tujuan politik yang tidak memihak pada rakyat.begitu juga dengan sistem dua partai secara konsnsus, walau dianggap akan ada ketanggapan dari partai oposisi, namun terkadang karna kedua partai ini memiliki landasan yang cenderung sama, sehingga seringkali menunda-nunda isu-isu masalah yang di hadapi masyarakat. Dan tidak berbeda dengan banyak partai, walaupun terdengar akan lebih merepresentasikan kepentingan beragam kelompok dalam masyarakat. Namun seringkali sistem ini malah menjadi macet dalam mencari solusi. Sebab walau ada banyak partai namun pada akhirnya mereka berkoalisi juga, sebab tak ada partai yang benar-benar superior. Seperti yang terjadi di Indonesia.

diplomasi era westphalia sampai PD 1

Tugas mata kuliah Dinamika Diplomasi
Pelaksanaan Diplomasi pada Era Westphalia 1648 sampai pecahnya Perang Dunia I

upn

Disusun oleh :
Kelompok 8
Agi Santri (151-080-281)
Igusti Bagus Budiarta (151-090-164)
Fajri Sanusi (151-090-192)
Viyan Dwi Satya (151-090-092)

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Hubungan Internasional
201
1

Dinamika Diplomasi pada EraWesthpalia Sampai dengan Perang Dunia I

Munculnya entitas yang bernama ‘negara’ dewasa ini tak luput dari sejarah awal terbentuknya konsep negara ditandai dengan Perjanjian Westphalia tahun 1648 yang mengakhiri era kekaisaran di Eropa.

Perjanjian Westphalia 1648

Perjanjian Westphalia tahun 1648 merupakan akhir dari perang 30 tahun antara kekuasaan Gereja (Paus) dan Raja. Dan merupakan cikal-bakal bagi terbentuknya konsep negara
n - bangsa.
Perjajian Westphalia secara tidak langsung telah membentuk suatu sistem negara-bangsa karena telah mengakui, bahwa kerajaan tidak dapat lagi memaksakan kehendaknya kepada negara-negara bagian atau wilayahnya. Akan tetapi dapat dilakukan apabila daerah-daerah tersebut mau mengakui atau bergabung ke dalam kerajaan-kerajaan tersebut. Bahkan, dalam Perjanjian Westphalia ini pun seorang Paus
sekalipun sangat dibatasi kekuasaannya.

Perjanjian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah negara modern. Sebabnya adalah :
1. Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa .
2. Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yangsuci

3. Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing. Perjanjian Westphalia dapat dikatakan telah mengesahkan suatu sistem negara-bangsa karena telah mengakui bahwa empire (negara) tidak dapat lagi memaksa kesetiaan dari negara-negara bagian-nya, dan bahwa Paus tidak dapat melaksanakan kekuasaanya dimana-mana, meskipun dalam soal-soal spiritual.Perjanjian Westphalia meletakan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja.


ERA PERANG DUNIA I

Dari Westphalia sampai Utrecht

Hubungan internasional dalam masa perjanjian Westphalia (1648) dan perjanjian Utrecht (1913) dipengaruhi oleh Raja Louis XIV (1643 - 1715) untuk membina hegemoni prancis di benua Eropa, dan persaingan ekonomi politik antara Inggris, Prancis, Holland dan Spanyol. Inggris merupakan mata rantai yang utama dalam hubungan internasional di Eropa. Karena Inggris yang mampu menjadi penyeimbang kekuatan (balance of power) dengan Prancis yang begitu berambisi di Eropa.

Hal ini dapat dilihat ketika Prancis terus berusaha meluaskan kekuasaanya, namun suatu koalisi antara negara-negara Eropa lainnya yang dipimpin oleh Inggris dan Austria dapat membendungnya dalam perang Spanyol (1701 – 1713), perang ini dikenal dengan nama “The War of the Spanis Sucsession”. Prancis akhirnya mengakui bahwa Spanyol menjadi negara merdeka, walaupun berhasil menempatkan seorang Bourbon di Spanyol. Malah Prancis kemudian harus melepaskan wilayah Nova Scotia kepada Inggris dan Austria mendapatkan Naples dan Sardina. Inggis kemudian mendapatkan wilayah Dilbraltar dan Minorca dari Spanyol. Perjanjian Utrecht juga mendorong persatuan Prusia yang
kemudian menjadi poros dari keseimbangan Eropa. Juga dapat dikatakan bahwa
di Eropa tidak ada satu negara pun yang dapat bertindak sendiri-sendiri tanpa memperhitungkan negara lain.

Dari Utrecht sampai Wina (1713 – 1815)

Setelah perjanjian Utrecht kekuatan politik ekonomi negara-negara di Eropa seimbang sehingga tidak terjadi perang, walaupun ancaman-ancaman seperti itu sering terjadi. Namun pada tahun 1733 Prancis kembali kedalam perang dan memaksa Hapsburg menyerahkan daerah Lorraine. Lima tahun kemudian menyerang Austria tapi dilawan oleh Maria Theresia. Sangketa antara dua negara ini diganggu dengan tumbuhnya sebuah kekuatan baru yang kuat di Prusia, Prancis karena takut akan Prusia yang dipimpin oleh Frederick Agung akhirnya merubah strategi dengan beraliansi dengan Austria. Rusia yang juga takut akhirnya bergabung bersama Prancis dan Austria untuk melawan Prusia. Inggris
yang juga melihat sangketa ini bermaksud meyimbangkan kekuatan memilih untuk
memihak Prusia, akhirnya terjadilah perang tujuh tahun 1756 waktu frederick
menyerang Saxony. Prusia mendapat kemenangan dan Inggris berhasi
menenyahkan Prancis dari Amerika Utara. Prusia dan Inggris yang kehabisan tenaga serta Prancis, Austria, dan Rusia yang kalah perang menyebabkan kesimbangan kekuatan di Eropa pulih kembali Ancaman selanjutnya adalah terjadinya Revolusi Prancis (1789), ketika itu kaum liberal mencoba menyebarkan faham Liberalisme seantero benua Eropa, maka terjadi kekacauan selama 23 tahun. Napoleon mucul sebagai penguasa prancis dan dilanjutkan dengan usahanya untuk menguasai Eropa. Dia berhasil bersama Rusia sebagai sekutunya, walaupun
kemudian saling perang sendiri.
Sementara itu Inggris harus bertarung
sendirian. ketika paham “liberty, Equality an Fertenity” berubah menjadi
suatu Nasionalisme di beberapa negara Eropa maka tumbuhlah kesadaran untuk ikut
serta dalam perang melawan ambisi Napoleon untuk menguasia Eropa. Dan Akhirnya Inggris, Rusia, Prusia, Austria dan Swedia mengalahkan Napoleon dan mengahiri usaha terakhir menguasai Eropa.

Meskipun sering kali terjadi perang, masa ini di pandang sebagai masa stabilitas dan perdamaian di Eropa. Maka tidak mengherankan pada kongres Wina tahun 1815 berusaha mengembalikan sistim lama ini dengan penambahan bahwa delapan negara diakuain sebagai negara utama yakni : Inggris, Prancis, Prusia, Austria, Rusia, Swedia, Protugal dan Spayol (tiga negara terakhir dipilih hanya karena tradisi). Kongres Wina juga membentuk Cordon Sanititire antara prancis dengan negara-negara tetangganya dengan maksud melindungi Eropa dari bahaya imprealisme Prancis.

Banyak hal yang terjadi setelah Kongres Wina beberapa perang juga terjadi seperti perang Krim (1854-1856) antara Rusia yang ingin merebut Konstatinopel dengan Inggris dan Prancis yang berusaha mempertahankan Konstaninopel. Kemudian perang antara Prancis dengan Prusia (1870-1871). Perang ini memang tidak mempengaruhi keseimbangan di Eropa, namun Prusia berhasil menyatakan diri sebagai satu kekuatan penting Eropa.

Kemudian dengan berakhirnya perang dan konsistenya negara-negara Erpa untuk menjaga perdamain, maka konsentrasi politik lebih condongh kedalam masing-masing negara. Hal ini di buktikannya dengan berdirinya kerajaan Jerman yang diproklamirkan oleh Otto von Bismarck pada tanggal 18 januari 1871 di Versilles, Prancis. Begitu juga Itali yang diproklamirkan oleh Camelio di Cavor tahun 1861. Meningkatnya rasa kebangsaan ataupun bentuk negara yang nasionalis di Eropa meluas keseluruh dunia. Eropa di kemudian hari dipandang sebagai pusat
perkembangan dunia. Segala macam paham yang ada di dunia berasal dari Eropa
termasuk paham Nasionalisme yang kemudian menjadi suatu hal yang sagat penting
dalam perkembangan negara bangsa berikutnya.

Metode yang digunakan pada Era Westphalia 1648 sampai Pecahnya Perang Dunia I

Metode yang sering di gunakan pada kedua era tersebut adalah metode “Realis”. Aktornya pada era Pasca Westphalia 1648 – Era PD I adalah Negara. Pada era ini lebih mengutamakan kekuatan militer sebagai alat memperkuat kekuasaan.

Isu yang muncul pada Era Westphalia 1648 sampai pecahnya Perang Dunia I

Isu nya lebih berfokus pada perebutan kekuasaan dan perperangan. Dimana pada Era ini, Negara-negara super power mencoba menguasai dunia dengan menjajah Negara-negara kecil. Banyak yang beranggapan era ini sebagai bagian dari kegagalan Diplomasi yang di lakukan antar Negara.

Aktor – aktor yang berperan Pada Era Westphalia 1648 sampai Era Perang Dunia I

Pada Era Westphalia 1648 aktor yang lebih dominan adalah kekuasaan Gereja (Paus) dan raja-raja yang berkuasa pada era ini. Hal ini yang memicu munculnya Perjanjian Westphalia yang telah berhasil mengesahkan suatu sistem negara karena telah mengakui bahwa suatu negara tidak dapat lagi memaksa kesetiaan dari negara-negara bagian nya dan bahwa Paus tidak dapat melaksanakan kekuasaanya dimana-mana, meskipun dalam soal-soal spiritual. Pada Era Perang Dunia I aktor yang dominan adalah sebuah Negara.

Kontribusi yang di diberikan pada Era Westphalia 1648 bagi Perkembangan Diplomasi

munculnya konsep Negara modern yang masih di gunakan sampai saat ini.
Perjanjian Westphalia telah memberikan sebuah pondasi dasar bagi konsep negara modern khususnya mengenai negara sekuler. Mengakui kedaulatan wilayah lain dan tidak lagi memaksakan kehendak wilayah lain. Perjanjian Westphalia mencoba mengkonsolidasikan aturan yang lebih jelas dan membatasi adanya kekuasaan yang berlebihan kepada penguasa. Jika dalam era modern saat ini, bisa dikatakan hamper mirip dengan sistem demokrasi. Dengan adanya Perjanjian Westphalia, batas yang mencakup kedaulatan wilayah menjadi semakin jelas. Sehingga meminimalisasi pencaplokan wilayah. Implementasinya adalah negara-negara modern saat ini memiliki batas-batas wilayah yang nyata dan jelas.
Perjanjian Westphalia telah membuat banyak perubahan dalam bentuk negara modren ini meliputi :
1. Tumbuhnya reperesentative goverment
2. Terjadi revolusi industri.
3. Perkembangan hukum internasioanal
4. Perkembangan metode-metode dan teknik diplomasi
5. Dalam bidang ekonomi antar negara bangsa terjadi saling ketergantungan.
6. Timbulnya prosedur-prosedur untuk menyelesaikan konflik secara damai
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep kekuasaan, kedaulatan pada era sebelum sampai Westphalia 1648 hingga konsep negara modern sedikit banyak telah memiliki banyak sekali perubahan dalam berbagai hal

Kontribusi yang di berikan pada Era Perang Dunia I bagi Perkembangan Diplomasi

munculnya pemikiran yang dikenal self determination yang berartikan hak sekelompok bangsa untuk memerintah dirinya sendiri dengan berdasarkan pada kedaulatan terhadap teritorial masing-masing. Yang menyebabkan Munculnya beberapa negara baru seperti Yugoslavia-Herzegovina, Serbia Montenegro, Austria, Hungaria, Czechoslovakia, Romania, Polandia merupakan dampak pengakuan self determinasi. Self determinasi memperoleh legitimasi secara politis melalui empat belas nilai-nilai Wilsonian.

Self determinasi menjadi perayaan legitimasi secara teritorial beberapa negara yang sebelumnya bahkan tidak pernah “eksis”. Sayangnya mereka tidak dibekali aparatur pemerintahan yang sempurna. Seolah-olah mereka dibentuk dalam keterdesakan dan pemetaan politik yang terkesan dipaksakan guna memecah skala kekuatan besar (Jerman dan Austria-Hungary) menjadi skala kekuatan kecil.